Assalamu Alaikum Wr.Wb.
Selamat datang..........""""
anda baru saja menjadi salah satu orang beruntung hari ini telah membuka blog ini

Selasa, 30 Oktober 2012

STRESS, KECEMASAN DAN FRUSTASI



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Olahraga adalah sebuah yang ditinjau dari berbagai dimensi. Olahraga selaim dimensi fisik olahraga juga dikaji dari dimensi psikis. Dimensi psikis atau jiwa dalam aktivitas jasmani dan olahraga merupakan bagian terpenting dalam penampilan seorang olahragawan. Beberapa keadaan psikologis yang terjadi pada olahragawan sangatlah kompleks. Kompleksitas tubuh manusia dalam menghadapi respon dan tekanan merupakan kondisi yang sering terjadi dalam aktivitas jasmani dan olahraga.
Setiap atlet atau pemanin ingin mencapai yang terbaik dan berusaha mendapatkan apa yang terbaik berdasarkan kemampuan-kemampuannya sendiri. Setiap atlet memiliki sumber daya untuk mencapai suatu prestasi. Sumber daya tersebut terwujud dalam potensi jasmaniah-rohaniah. Potensi ini sangat menentukan dalam pencapaian prestasi. Disamping itu terdapat faktor lain diluar diri atlet yang juga dapat mempengaruhi prestasi, misalnya cuaca (temperatur), tempat pertandingan, alat-alat dan sebagainya
Semua atlet akan selalu dihadapkan pada sejumlah stimulus yang memberikan pengalaman stress terhadap dirinya. Dalam dunia olahraga khususnya olahraga kompetitif, atlet harus mempunyai kemampuan dalam mengatasi berbagai stimulus yang berpotensi memberikan pengalaman stress terhadap dirinya seperti sorakan dan cemoohan penonton, perasaan sakit akibat terjadi cedera, kekalahan dalam berbagai pertandingan, kelemahan yang dimiliki atlet baik kelemahan fisik maupun kelemahan mental, atau sumber-sumber lain yang mengakibatkan terjadinya stress.
Atlet yang aktif dalam dunia olahraga baik atlet daerah, nasional,  atau internasional harus mempunyai kemampuan dalam coping stress, sehingga atlet mampu dengan cepat mengatasi dan menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan baik internal maupun eksternal, atau berbagai permasalahan dan aspek-aspek yang kurang menyenangkan yang diterima oleh diri atlet.
Dalam mempersiapkan atlet atau pemain menghadapi pertandingan, arah pembenahan adalah penigkatkan faktor fisik yang mencakup kondisi fisiologis, teknis dan psikis. Dengan kata lain, seorang atlet harus dibekali keterampilan motorik (motorskill), kondisi fisiologis serta kesiapan aspek psikologis yang maksimal.
Kesiapan aspek psikologis atlet akhir-akhir ini banyak memperoleh perhatian dalam program pembinaan. Seperti diatas kondisi psikologis dibedakan atas 2 macam yaitu yang menunjang dan yang menganggu penampilan atau prestasi.
Kondisi psikologis yang menunjang untuk berprestasi diantaranya:
1. Motivasi tinggi
2. Aspirasi kuat
3. Ketahanan mental
4. Kematangan kpribadian
Sedangkan kondisi psikologis yang dapat mengganggu penampilan atau prestasi diantaranya :
1. Ketegangan / kecemasan
2. Motivasi rendah
3. Obsesi
4. Gangguan emosional
5. Keraguan / takut
Berikut ini disajikan pembahasan tentang salah satu kondisi psikologis yang menggangu penampilan seorang atlet yaitu stress, ketegangan dan frustasi.
B.     Tujuan
Dari latar belakang diatas maka kami merumuskan tujuan yaitu sebagai berikut:
1.       Menyajikan pembahasan singkat tentang pengaruh aspek psikologis terhadap penampilan atau prestasi seseorang dalam melaksanakan tugasnya, dalam hal ini pemain atau atlet waktu menghadapi dan melaksanakan suatu pertandingan.
2.       Mencoba membahas hal-hal yang berkaitan dengan ketegangan (stress, kecemasan dan frustasi) dalam berolahraga.
3.       Memberikan solusi tentang bagaimana cara menanggulangi stress, kecemasan dan frustasi.
C.    Manfaat
Adapun manfaat yang dapat kami ambil dalam penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1.      Dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Psikologi Olahraga.
2.      Sebagai media menambah pengetahuan kami selaku penulis tentang pskologi olahraga khususnya mengenai keadaan emosional seseorang / atlet.


BAB II
PEMBAHASAN
A.     DEFENISI
1.      Stress
Berbagai defenisi mengenai Stress telah dikemukakan oleh para ahli dengan versinya masing-masing, walaupun pada dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat inti persamaannya. Selye (1976) mendefinisikan Stress sebagai “the nonspesific response of the body to any demand”, sedangkan Lazarus (1976) mendefinisikan “stress occurs where there are demands on the person which tax or exceed his adjustive resources” (Golberger & Breznitz, 1982, hal. 39). Dari kedua defenisi diatas tampak bahwa Stress lebih dianggap sebagai respon individu terhadap tuntutan yang dihadapinya. Tuntutan-tuntutan tersebut dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu tuntutan internal yang timbul sebagai tuntutan fisiologis dan tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan social. Hans Selye (1950) juga menambahkan bahwa tidak ada aspek tunggal dari stimulus lingkungan yang dapat mengakibatkan stress, tetapi semua itu tergabung dalam suatu susunan total yang mengancam keseimbangan (homeostatis) individu. Hans Selye (1950) mengembangkan konsep yang dikenal dengan Sindrom Adaptasi Umum (General Adaptation Syndrome) yang menjelaskan bila seseorang pertama kali mengalami kondisi yang mengancamnya, maka mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) pada tubuh diaktifkan.
Kelenjar-kelenjar tubuh memproduksi sejumlah adrenalin cortisone dan hormon-hormon lainnya serta mengkoordinasikan perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat. Jika tuntutan-tuntutan berlangsung terus, mekanisme pertahanan diri berangsur-angsur akan melemah, sehingga organ tubuh tidak dapat beroperasi secara adekuat. Jika reaksi-reaksi tubuh kurang dapat berfungsi dengan baik, maka hal itu merupakan awal munculnya penyakit “gangguan adaptasi”. Penyakit-penyakit tersebut muncul dalam bentuk maag, serangan jantung, tekanan darah tinggi, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya.
Lazarus dan Launier (1978) mengemukakan tahapan-tahapan proses stress sebagai berikut :
-          Stage of Alarm
Individu mengidendentifikasi suatu stimulus yang membahayakan. Hal ini akan meningkatkan kesiapsiagaan dan orientasinyapun terarah kepada stimulus tersebut.
-          Stage of Appraisals
Individu mulai melakukan penilaian terhadap stimulus yang mengenainya. Penilaian ini dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman individu tersebut.
-          Stage of Searching for a Coping Strategy
Konsep ‘coping’ diartikan sebagai usaha-usaha untuk mengelola tuntutan-tuntutan lingkungan dan tuntutan int internal serta mengelolah konflik antara berbagai tuntutan tersebut. Tingkat kekacauan yang dibangkitkan oleh satu stresor (sumber stress) akan menurun jika individu memiliki antisipasi tentang cara mengelola atau menghadapi stresor tersebut, yaitu dengan menerapkan strategi ‘coping’ yang tepat. Strategi yang akan digunakan ini dipengaruhi oleh pengalaman atau informasi yang dimiliki individu serta konteks situasi dimana stress tersebut berlangsung.
-          Stage of The Stress Response
Pada tahap ini individu mengalami kekacauan emosional yang akut, seperti sedih, cemas, marah, dan panik. Mekanisme pertahanan diri yang digunakan menjadi tidak adekuat, fungsi-fungsi kognisi menjadi kurang terorganisasikan dengan baik, dan pola-pola neuroendokrin serta sistem syaraf otonom bekerja terlalu aktif. Reaksi-reaksi seperti ini timbul akibat adanya pengaktifan yang tidak adekuat dan reaksi-reaksi untuk menghadapi stress yang berkepanjangan. Dampak dari keadaan ini adalah bahwa individu mengalami disorganisasi dan kelelahan baik mental maupun fisik.
Disamping membagi stress kedalam tahap-tahap diatas, Lazarus juga membedakan istilah istilah harm-loss, threat, dan challenge. Harm-loss dan threat memiliki konotasi negatif. Keduanya dibedakan berdasarkan perspektif waktunya. Harm-loss digunakan untuk menerangkan stress yang timbul akibat antisipasi terhadap suatu situasi. Baik stress akibat harm-loss maupun threat pada umumnya akan dapat berupa gangguan fisiologis maupun gangguan psikologis. Di lain pihak, challenge (tantangan) berkonotasi positif. Artinya, stress yang dipicu oleh situasi-situasi yang dipersepsikan sebagai tantangan oleh individu tidak diubah menjadi strain. Dampaknya tehadap tingkah laku individu, misalnya tampilan kerjanya menjadi positif.
Dalam olahraga kompetitif, atlet harus mampu mengelola tuntutan-tuntutan dengan mengidentifikasi kemampuannya. Efektifitas coping dalam olahraga merupakan proses penyesuaian dengan penampilan atlet di dalam aktivitas olahraga, maksudnya atlet melakukan coping terhadap situasi-situasi yang mengakibatkan munculnya perasaan stress dan cemas. Dalam situasi tersebut, aspek harus yang terlibat adalah kognitif, emosional, psikologis, dan komponen perilaku sebagai kompetensi yang dimiliki atlet. Setiap sistem tersebut, merupakan kemampuan (sumber-sumber, perilaku coping) yang mampu mengatasi tuntutan-tuntutan yang mengakibatkan stress.
            Madden (1995) menjelaskan bahwa kesehatan (health) merupakan salah satu sumber coping secara umum. Pernyataan tersebut, mengandung makna bahwa memelihara kesehatan dengan baik merupakan sumber coping karena secara fisik dan psikis setiap atlet akan siap menghadapi berbagai tuntutan yang datang pada dirinya. Upaya yang bisa dilakukan adalah berlatih secara teratur dan melakukan kegiatan relaksasi.
Latihan merupakan salah satu metoda coping dalam keadaan stress, stress dapat dikurangi dengan melakukan latihan relaksasi, sehingga gejala-gejala kecemasan seperti perasaan takut, ketegangan otot dan sebagainya  bisa dikurangi. Relaksasi juga merupakan teknik coping yang bisa mengurangi tingkat arousal atau stress. Secara teoritis, latihan relaksasi didasarkan pada prinsip Wolpe’s tentang principle of reciprocal inhibition menganggap bahwa respon-respon maladaptive (ketegangan yang diakibatkan oleh stress) dapat dihilangkan dengan menghadirkan sesuatu yang menantang atau menghambat untuk memulai dan melakukan sesuatu. Jika atlet bisa mencapai keadaan relaks, secara logika tidak konsisten dan berlawanan dengan keadaan psikologis. Selain itu, Madden (1995) mengatakan strategi kognitif seperti associative dan dissociative merupakan strategi coping pada atlet untuk memfokuskan perhatiannya pada faktor-faktor yang relevan dengan penampilannya (associative strategy), dan pemikiran atau perasaan yang membantu untuk mengambil perhatian dari atlet pada kondisi fisiologis (dissociative strategies). Pengaruh yang signifikan pada lingkungan yang terdiri dari stimuli akan dirasakan atlet dalam pertandingan.
            Konsep coping terutama yang fokus pada kognitif, dalam prosesnya berbeda hubungannya dengan lingkungan. Oleh karena itu, sistem coping dipahami berdasarkan strategi hierarkhi yang berkembang dari yang belum matang (immature) dan mekanisme primitif yang menyimpang dari kenyataan, kepada mekanisme yang matang. Lazarus dan Folkman (1984) dalam Apruebo (1997) merumuskan strategi hierarkhi tersebut sebagai bentuk mekanisme coping yang dimulai dari paling tinggi dan meningkat pada kematangan proses ego, strategi ini merupakan mekanisme coping yang baik untuk digunakan.
2.      Kecemasan

Kecemasan (Anxiety) adalah salah satu gejala psikologis yang identik dengan perasaan negative. Beberapa ahli psikologi menjelaskan pengertian kecemasan dalam berbagai makna. Menurut Robert S. Weinberg dan Daniel Gold (2007: 78) mendefinisikan kecemasan adalah sebuah perasaan negatif yang memiliki cirri gugup, rasa gelisah, ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi, dan yang terjadi pergerakan atau kegairahan dalam tubuh. Kecemasan memiliki dua komponen yaitu terdiri dari kecemasan kognitif (cognitive anxiety) yang ditandai dengan rasa gelisah dan ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi, sedangkan yang kedua adalah kecemasan somatik (somatic anxiety) yang ditandai dengan ukuran keadaan fisik seseorang. Sedangkan menurut Singgih D. Gunarsa(1989: 147) mendefinisikan sebagai perasaan tidak berdaya, tekanan tanpa sebab yang jelas, kabur, atau samar-samar. Sedangkan A.Budiarjo, dkk (1987: 351) menyatakan bahwa kecemasan adalah keadaan tertekan dengan sebab atau tak ada sebab yang mengerti, kegelisahan hamper selalu disertai dengan gangguan system syarat otonom dan disertai rasa mual. Kartini Kartono (1981: 116) menyatakan bahwa kecemasan adalah semacam kegelisahan, kekhawatiran dan ketakutan terhadap sesuatu yang tidak jelas dan mempunyai cirri yang merugikan. Rita L. Atikinson (1983: 212) mengemukakan bahwa kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekawatiran, keprihatinan dan rasa takut yang kadang-kadang kita alami dalam tingkat yang berbeda-beda. Ahli lain Griest et all (1986) merumuskan kecemasan sebagai suatu ketegangan mental yang disertai dengan gangguan tubuh yang bersangkutan merasa tidak berdaya dan mengalami kelelahan karena senantiasa harus berbeda dalam keadaan waspada terhadap ancaman yang tidak jelas dan hamper selalu disertai gangguan pencernaan.

Sedangkan Pahlevi (1991) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu kecendurangan untuk mempersepsikan situasi sebagai ancaman dan akan mempengaruhi tingkah laku. Handoyo (1980) menjelaskan kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang dialami oleh seseorang, dimana ia merasa tegang tanpa sebab-sebab yang nyata dan keadaan ini memberikan pengaruh yang tidak menyenangkan serta mengakibatkan perubahan - perubahan pada tubuhnya baik secara somatik maupun psikologis.

Dari berbagai pendapat-pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu yang akan dilakukan dan belum terjadi yang ditandai dengan kekhawatiran, kurang percaya diri, kegelisahan yang kadang kala dapat mengganggu kinerja fisiologis tubuh. Kecemasan merupakan gejala psikologis yang umum terjadi dan setiap orang sadar pasti pernah mengalaminya.

Kecemasan adalah suatu rasa takut, tidak aman, tak berdaya tanpa sebab yang jelas. Jadi bukan rasa takut yang disebabkan stimulis dari lingkungan individu tersebut. Kecemasan ini mungkin datangnya dari situasi-situasi yang dikhayalkan akan terjadi.

Perasaan cemas dapat terjadi pada atlet pada waktu menghadapi keadaan tertentu, misalnya dalam menghadapi kompetisi yang memakan waktu panjang dan atlet tersebut menglami kekalahan terus-menerus.

3.         Frustasi

Fustasi timbul dikarenakan merasa gagal tidak dapat mencapai suatu yang diinginkan. Setiap atlet menginginkan kepuasan yaitu itu menang; dan apabila itu tidak terwujud, maka dapat menimbulkan frustasi.

Frustasi dapat terjadi pada atlet yang mempunyai sifat pesimis maupun pada atlet yang memiliki sifat optimis yang sangat tinggi. Atlet yang mempunyai sifat pesimis dapat dikatakan “kalah sebelum berperang” karena atlet yang memiliki sifat pesimis ini mudah terkena frustasi sehingga mengalami kegagalan sedikit saja, diangapnya sebagai kegagalan yang akan terjadi dialami seterusnya.

Sedangkan apabila atlet memiliki sifat optimis yang sangat tinggi (over confidence) maka akan sangat mudah mengalami frustasi. Kegagalan yang dialaminya akan membuat atlet tersebut kecewa serta kehilangan keseimbangan emosi.

Frustasi adalah suatu harapan yang diinginkan dan kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan.Misalnya putus pacar, perceraian, masalah kantor, masalah sekolah atau masalah yang tidak kunjung selesai. Frustasi inipun terjadi juga bila tujuan yang dicapai mendapatkan rintangan.Frustasi memiliki dua sisi.
1.      Frustasi adalah fakta tidak tercapainya harapan yang diinginkan.
2.      Frustasi adalah perasaan dan emosi yang menyertai fakta tersebut.
Pada contoh diatas adalah fakta mendapatkan nilai jelek di sekolah dan mendapat marah oleh bos dalam kesalahan di kantor. Perasaan dan emosi yang muncul adalah kesal, marah dan perasaan-perasaan lainnya yang mungkin muncul.

Akibat dari frustasi bisa munculkan gejala-gejala ketubuhan yang disebut psikosomatis.

Bayangkan anda mendapatkan nilai atau penghargaan yang tidak sesuai dengan yang anda harapkan, padahal anda sudah berusaha dengan sebaik mungkin. Seumpama anda mendapat nilai D pada ujian akhir. Ini tidak hanya terjadi sekali saja, tetapi telah beberapa kali. Anda lalu menjadi kesal bahkan marah atau muncul perasaan-perasaan lainnya. Pada malam harinya anda tidak bisa tidur. Segudang pemikiran muncul, berputar-putar silih berganti, mulai mencari sebab-sebab kegagalan, upaya mencari jalan lain supaya lebih berhasil sampai pada pemikiran-pemikiran buruk. Sehingga nantinya akan terlintas jalan pintas dan lain sebagainya. Anda mencoba untuk mengusir pemikiran-pemikiran tersebut tapi tetap saja tidak bisa dan akhirnya anda jatuh tidur karena memang betul-betul kecapaian. Pada pagi harinya anda bangun dengan tubuh yang kurang segar karena susah tidur. Selama siang hari perasaan maupun tubuh anda akan terasa tidak enak. Sekali-kali akan teringat mengenai kegagalan pada hari sebelumnya dan itu akan muncul dan mengganggu.

Namun selain contoh diatas ada juga contoh frustasi yang berakibat agresi karena frustasi yang dialami melahirkan reaksi kemarahan. Tindakan agresi diambil apabila individu merasa lebih kuat dari lawannya. Sebalinya bila individu merasa lemah, maka biasanya tindakan yang diambil ketika terjadi frustasi adalah menghindar atau melarikan diri.
B.     Sumber-sumber Stress, Kecemasan dan Frustasi
Sumber-sumber stress, kecemasan dan frustasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu sebagai berikut:
·         Sumber Intrinsik
Sumber Stress, kecemasan dan frustasi dari dalam maksudnya semua hal ini berasal dari diri atlet itu sendiri, yaitu;
§  Atlet sangat mengandalkan kemampuan tekniknya.
Bila atlet hanya mengandalkan kemampuan tekniknya, atlet tersebut akan mengalami kesulitan sebawatu menghadapi situasi pertandingan yang kurang menguntungkan bagi dirnya, misalnya menghadapi lawan yang ulet dan cermat sehingga lawan itu mampu mengantisipasi setiap serangan yang akan ia lakukan. Akibatnya atlet tersebut akan merasa terpepet dan selanjutnya tidak mampu lagi menguasai situasi yang sedang dihadapinya.
§  Atlet merasa bermain baik sekali.
Bila perasaan ini menghinggapi atlet, maka akan menjadi pertanda mulai timbul sesuatu yang menekan pada dirinya. Perasaan ini memberikan beban mental pada dirinya. Demikian juga perasaan yang sebaiknya, yang seakan-akan atlet itu telah memvonis diri sendiri bahwa ia tidak akan mencapai sukses.
§  Adanya negative thinking karena dicemooh atau dimarahi.
Dicemooh atau dimarahi akan menimbulkan reaksi pada diri atlet. Reaksi yang menekan dan menimbulkan frustasi sehingga menggangu penampilan pelaksaan tugas.
§  Adanya pikiran puas diri.
Bila dalam diri atlet ada pikiran atau perasaan puas diri maka ia telah menanamkan benih-benih ketegangan dalam diri sendiri. Atlet akan dituntut oleh diri sendiri untuk mewujudkan suatu yang mungkin berada diluar kemampuannya. Bila demikian keadaannya, sebenarnya atlet itu telah menerima tekanan yang tidak disadari.
·         Sumber Ekstrisik
Sumber Stress, kecemasan dan frustasi dari dalam maksudnya semua hal ini berasal dari diri atlet itu sendiri, yaitu;
§  Rangsangan yang membingungkan.
Salah satu bentuk rangsangan yang membingunkan adalah komentar para official yang merasa berkompoten, baik atas koreksi, strategi atau tektik yang harus dilakukan maupun petunjuk yang lain kepada atlet. Menerima beberapa petunjuk dan perintah sekaligus akan membingungkan atlet.
§  Pengaruh massa.
Massa penonton terlebih yang masih asing, dapat mempengaruhi kestabilan mental atlet. Penonton juga memainkan peranan yang sangat berarti dalam suasana pertandingan. Salah satu cirri massa (penonton) adalah emosi yang labil. Begitu mereka mengalami kekecewaan, maka mereka akan menunjukan tindakan yang agresif berupa cemoohan terhadap atlet. Disamping pengaruh yang merugikan itu adapun pengaruh massa yang dapat membangkitkan semangat dan percaya diri, sehingga dalam situasi yang kritis atlet merasa seakan-akan mendapat “angin”, yang lalu berangsung-angsur ia mampu menguasai keadaan dan menunjukan penampilan yang lebih baik.
§  Saingan yang bukan tandingannya.
Pemain atau atlet yang mengetahui bahwa lawan yang akan dihadapi adalah pemain peringkat diatasnya atau lebih unggul daripada dirinya, maka dalam hati kecil atlet atau pemain tersebut telah timbul pengakuan akan ketidak mampuannya untuk menang. Situasi tersebut akan menyebabkan berkurangnya kepercayaan pada diri sendiri. Setiap kali berbuat kesalahan, ia semakin menyalahkan diri sendiri.
§  Kehadiran/ketidak hadiran pelatih
Atlet yang mempunyai hubungan personal dengan pelatih akan mengharapkan kehadiran pelatih selama ia bertanding. Tidak hadirnya pelatih yang sebenarnya sangat menguntungkan bagi penampilan bagi atlet tersebut. Hal ini disebabkan karena atlet merasa tidak ada orang yang dapat member dukungan pada saat-saat yang ia perlukan. Dengan support tersebut atlet akan merasa mampu menghadapi dan mengatasi situasi-situasi yang penting. Sebaliknya, ada atlet yang tidak senang akan kehadiran pelatih selama ia bertanding. Dalam hal ini pelatih harus cepat memahaminya, ahar tidak menimbulkan perasaan yang mengganggu pada diri atlet.

C.    Cara Penanggulangan
Teknik-teknik untuk mengatasi atau setidaknya mengurangi stress, kecemasan serta frustasi yaitu sebagai berikut:
1.      Teknik Intervensi
§  Konsentrasi (Pemusatan perhatian)
Cara ini pertama-tama menyingkirkan aneka ragam pikiran yang mengganggu atlet dan hanya memusatkan seluruh perhatian dan pikiran pada tugas yang sedang dihadapi. Memang ada atlet yang mampu dengan cepat menghalau berbagai pikiran yang mengganggu perhatian dan konsentrasinya pada pertandingan yang sedang dihadapinya, namun tidak sedikit atlet yang begitu lama termakan oleh gangguan pikirannya.
§  Pengaturan pernapasan
Pada orang yang mengalami ketegangan atau kecemasan serta respirasi akan meninggi. Keadaan seperti ini dapat diatasi dengan pernapasan yang dalam dan pelan, sehingga irama pernapasan yang semula cepat atau meninggi secara berangsur-angsur melambat atau menurun. Mengatur pernapasan juga merupakan usaha penenangan diri.
§  Relaksasi otot secara progresif
Caranya adalah melakukan kontraksi otot secara penuh kemudian dikendurkan. Latihan ini dilakukan secara berulang-ulang selama kurang lebih 60 menit. Bila otot-otot telah mencapai keadaan rileks yang sungguh-sungguh, maka keadaan ini akan mengurangi ketegangan emosional juga menurunkan tekanan darah serta denyut nadi. Karenanya pada saat-saat tengan, orang sedapat mungkin memusatkan perhatiannya pada relaksasi otot dengan cara seperti diatas (S. horn;1986)
2.      Mencari sumber stress, kecemasan dan prustasi itu sendiri.
Disini peran pelatih besar sekali. Hubungan hati-kehati antara atlet dan pelatih akan memungkinkan pelatih mengorek apa yang sebenarnya sedang dialami oleh atlet. Demikian atlet juga akan dengan terbuka menceritakan apa yang sedang dialami.
3.      Pembiasan/berlatih
Cara ini dimaksudkan untuk melatih atlet menghadapi situasi-situasi yang bisa timbul dalam pertandingan. Bentuk paltihan pembiasaan adalah dengan simulasi. Yaitu dalam latihan sengaja diabut situasi yang dapat menimbulkan ketengangan dalam batas-batas tertentu. Dengan cara ini atlet tidak lagi peka (sensitif) terhadap pengaruh lingkungan.
o   Berlatih dalam gedung dengan pentilasi yang kurang baik sehingga sirkulasi udara didalamnya sangat menggangu.
o   Berlatih dilapangan dengan kondisi yang berbeda-beda, misalnya; permukaan tidak rata, licin, terbuat dari bahan sintetis dan sebagainya.
o   Berlatih dengan berbagai alat yang berbeda kualitasnya, misalnya berbagai merek shuttlecock, bola volley, bola basket, bola tennis.
o   Berlatih dialam (daerah) dengan cuaca atau suhu yang berbeda-beda, misalnya; didataran dengan lapisan udara yang tipis atau didataran tinggi, didaerah dengan panas yang menyengat dan sebagainya.
o   Berlatih dalam rungan dengan sistem penerangan yang kurang memenuhi sarat.
4.      Teknik-teknik khusus.
Penangan ketegangan dengan menggunakan teknik khusus itu lebih menekankan pada pendekatan individual, misalnya;
-          Melalui music yang menjadi kegemaran atlet yang sedang mengalami ketegangan atau kecemasan.
-          Menanamkan dan memperkuat keyakinan atlet bahwa persiapan yang mereka lakukan sudah mantap dan menyeluruh.
-          Menjauhkan atlet dari official yang pencemas.
-          Menjelaskan kepada atlet bahwa ketegangan/kecemasan dalam pertandingan adalah wajar. Bahkan dalam batas-batas tertentu hal itu memang diperlukan.
D.    Stress, Kecemasan dan Frustasi dalam Pertandingan
Menurut scanlan (1984) dalam tulisnya yang berjudil: “kompetitif stress and the child atlet” yang dimuat dalam buku “psikologikal foundation of sport” mengemukakan bahwa “competitive stress” atau stress yang timbul dalam pertandingan merupakan reaksi emoasional yang negative pada anak apabila rasa harga dirinya menrasa terancam. Hal seperti ini terjadi apabila atlet yunior menganggap pertandingan sebagai tantangan yang berat untuk dapat sukses, mengingat kemampuan penampilannya, dan dalam keadaan seperti ini atlet lebih memikirkan akibat dari kekalahannya.
Stress selalu akan terjadi pada diri individu apabila sesuatu yang diharapkan mendapat tantangan sehingga kemungkinan tidak tercapainya harapan tersebut menghantui pemikirannya. Stress adalah suatu ketegangan emosional, yang akhrinya berpengaruh terhadap proses-proses psikologis maupun proses fisiologik.
Spielberger (1986) dalam tulisnya mengenal “stress & Anxiety in sport” dalam kumpulan karya ilmiah yang dihimpun oleh morgan berjudul “sport psychology” menegaskan bahwa stress menunjukan “psychological proses” yang kompleks, dan proses ini pada umumnya terjadi dalam situasi yang mengandung hal yang dapat merugikan, berbahaya, atau dapat menimbulkan frustasi (streesor).
“Stressor” menurut Spielberger (1986) menunjukan situasi-situasi atau stimuli yang secara objrktif ditandai dengan adanya tekanan fisik atau psikologi atau bahaya dalam suatu tingkat tertentu. Situasi penuh stress akan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dalam tingkat-tingkat yang berbeda dalam perkembangan manusia.
Reaksi yang berbeda akan muncul dalam menghadapi “stressor”, tergantung pada situasi tertentu yang diperkirakan mengandung ancaman. Ancaman juga berkaitan dengan persepsi dan penilaian individu terhadap situasi yang dihadapi sebagai hal yang dapat merugikan dan mengandung bahaya. Dalam hubungannya dengan aktifitas olahraga, khususnya kemungkinan terjadinya stress menghadapi pertandingan maka permasalahannya sangat banyak tergantung pada diri atlet yang bersangkutan.
Mengenai timbulnya stress, Gauron (1984) berkesimpulan:
1. “Because stress is an inevitable part of life, it can’t be a volded”.
2. “Since stress is inevitable individual must reduce it’s effect and cope through”.
3. “Chronic stress may have adverse effect you upon the body particularly if it isn’t thought to relax”
Mungkin sekali suatu situasi yang sama dapat dirasakan sebagai ancaman bagi seorang atlet, tetapi hanya merupakan tantangan bagi atlet lain, dan mungkin bahkan tidak berarti apa-apa bagi atlet lain. Jadi dari pengalaman-pengalaman mengenai ancaman, ada hubungannya dengan keadaan mental atlet yang bersangkutan.
Namun jikalau hal itu tidak dapat segera diatas dan malah semakin menggangu atlet itu sendiri maka apa yang dicemaskan akan menjadi nyata dan menyebabkan ia kehilangan keseimbangan emosi. Keadaan seseorang yang kehilangan keseimbangan emosi biasanya mengarah pada ekspresi kejasmanian, sehingga orang lain dapat mengatahui hahwa atlet tersebut sedang mengalami emosi. Namun demikan kadang-kadang ada atlet yang dapat mengontrol keadaan dirinya sehingga emosi yang dialami tidak tercetus keluar dengan perubahan atau tanda-tanda kejasmanian tersebut. Hal ini berkaitan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen (Carrson ; 1987) yang dikenal dengan Display rules. Menurut mereka adanya 3 rules yaitu Masking, modulation dan simulation.
Masking adalah keadaan seseorang yang dapat menyembunyikan atau dapat menutupi emosi yang dialaminya. Emosi yang dialaminya tidak tercetus keluar melalui ekspresi kejasmaniannya. Misalnya seorang atlet yang sangat sedih dikarenakan kehilangan gelar yang semsetinya dapat dia raih. Kesediahan itu dapat diredam atau ditutupi, dan tidak ada gejala kejasmanian yang menyebabkan tampaknya rasa sedih tersebut. Pada modulasi (modulation) orang tidak dapat meredam secara tuntas mengenai gejala kejasmaniannya, tetapi hanya dapat mengurangi saja. Jadi misalnya karena sedih, ia menangis (gejala kejasmanian) tetapi tangisnya itu tidak begitu mencuat-cuat. Pada simulasi (simulation) orang tidak mengalami emosi, tatapi dia seolah-olah mengalami emosi dengan menampakkan gejala-gejala kejasmanian.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka kami menarik kesimpulan yaitu sebagai berikut:
Olahraga adalah suatu kegiatan yang bukan saja bersifat jasmaniah, melainkan merupakan kegiatan sebagai suatu totalitas;
Dalam diri seorang atlet terdapat faktor-faktor psikologis yang mendukung atau menghambat penampilan atlet itu sendiri.
Stress, kecemasan dan frustasi merupakan keadaan yang selalu mencul kepermukaan ketika menghadapi even yang kopetitif.
Pelatih mempunyai peranan penting dalam menjaga kondisi psikologis atlet.
B.     Saran
Dari pembahasan dan kesimpulan diatas maka kami memberikan saran yaitu sebagai berikut:
1.      Mengingat semakin kerasnya even olahraga yang semakin kompetitif, setiap atlet harus dapat meningkatkan kemampuan tAknik dengan dibarengi oleh bekal psikologis yang memadai.
2.      Agar pembekalan psikologis itu efektif maka lingkungan yang ada di sekitas atlet harus dapat mendukung keberadaan atlet itu sendiri.
3.      Untuk mengatasi stress, kecemasan dan frustasi, atlet harus dapat beradaptasi dengan lingkungan pertandingan itu sendiri, serta didukung oleh faktor-faktor penunjang lain.


DAFTAR PUSTAKA
Gunarsa, Singgih dkk. 1987. Psikologi Olahraga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Nasution, Noehi dkk. 1992. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
Payitno, Elida. 1991. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Depdikbud.
Sutyobroto, Sudibyo. 1989. Psikologi Olahraga. Jakarta: Copyright.
Wargito, Bimo. 1989. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andy Yogyakarta
Orlick, Terry. (1998). How to Manage Stress. USA: Mind Tool Ltd.           
Satiarsiatun (2003). Hubungan Self-Esteem, Motivasi Berprestasi dengan Coping   Stress: Tesis. Tidak Diterbitkan.
Scanlan, T.K. Stein, G.L., & Ravizza, K. (1991). An in-depth Study of Former        Elite Figure Skaters: III Sources of Stress. Journal of Sport & Exercise     Psychology, 13, 102-120.
Atikison L. Rita, dkk (1983). Pengantar psikologi. Jakarta : Erlangga.
Kartini Kartono. (1981). Gangguan-gangguan Psikologi Olahraga. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Singgih D. Gunarso. (1996) Psikologi Olahraga Teori dan Praktek. Jakarta: Gunung Mulia.
Weinberg and Gould. (2007). Foundations of Sport and Exercise Phychology. Human Kinetics.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar